REFLEKSI: RENDAHNYA BUDAYA BACA DAN SOLUSI
Oleh: Sobarudin, S.Ag.
Ada sesuatu yang kurang bijak nampaknya apabila fenemonea
kecenderungan rendahnya budaya baca pada dunia pendidikan. Pesatnya arus Teknologi
Informasi di dunia pendidikan tidak akan berdampak signifikan apabila tidak
diimbangi dengan budaya baca oleh para pelaku didalamnya. Pelaku dimaksud
adalah Guru, Peserta Didik dan Tenaga
Kependidikan, sakinng pentingnya elemen ini mendapat nomer khusus disingkat
NUPTK (Nomer Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan). Elemen terpenting dari
pelaku pendidikan adalah Guru dan peserta didik, bukan berarti elemen lain
tidak lebih penting. Nampaknya ada korelasi signifikan dari dua elemen ini, Satu
sisi guru merupakan ujung tobak terdepan dari keberhasilan suatu proses
pendidikan, sehingga sehebat apapun kurikulum dan metode atau model
pembelajaran apabila Guru tidak piawai dalam membawakan dan mengimplementasikan
di lapangan, maka hasil yang diraih tentu akan jauh dari yang semestinya.
Sisi lain dari unsur terpenting pendidikan adalah peserta didik,
peserta didik mempunyai peran yang
signifikan, ini artinya se-piawai apapun Guru dalam mengajar apabila tidak
diimbangi oleh responsibilitas dari peserta didik, maka apa yang menjadi tujuan
pendidikan tidak akan tercapai secara maksimal. Hal ini berimplikasi harus
adanya harmonisasi, dinamisasi dan kooferatifnya kedua unsur Guru dan peserta
didik.
Bertalian dengan ini, ada pribahasa menarik: “Buku adalah Gudangnya
Ilmu, Baca adalah Kuncinya.” Peribahasa ini sudah lama dikenal, mudah
diucapkan tetapi tidak lebih mudah dari
sisi implementasi. Kecenderungan guru dan peserta didik pada sisi implementasi
ini masih terganjalnya dengan rasa tidak keyeng (bahasa Sunda) atau
rendahnya motivasi baca. Apabila dicermati nampaknya dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Secara sederhana apabila di klasifikasi faktor itu terbagi menjadi dua
yakni faktor internal dan faktor eksternal. Masuk pada katagori internal
diantaranya lemahnya jiwa kritis dan rasa ingin tahu yang lebih, rendahnya daya
beli buku atau fasilitas keilmuan, tingkat kesejahteraan dan kestabilan ekonomi
yang rendah. Selanjutnya masuk pada katagori eksternal yaitu rendahnya stimulus
(rangsangan) dari lingkungan (Sekolah, keluarga, dan teman), kurang lengkapnya
buku referensi, kurang lengkapnya perpustakaan terdekat, rendahknya penghargaan
atas prestasi keilmuan di lingkungan pendidikan, terbuka dan mudahnya mengakses
Internet. Kesemuanya ini ditengarai mempengaruhi rendahnya budaya baca
dikalangan guru dan peserta didik di Indonesia.
Sebenarnya tidak ada
pemilahan apa yang sebaiknya dibaca oleh Guru atau peserta didik dalam upayanya
menambah informasi pengetahuan. Buku cetak, e-book (buku elektronik) mempunyai
keunggulan tersendiri, serta media informasi lain (Internet, Jurnal, Lektur,
Koran, Majalah/Tabloid, Buletin) masing-masing mempunyai keunggulan dan
kelemahan sendiri-sendiri. Pertanyaannya
adalah mampukah Guru dan peserta didik mengoptimalkan keberadaan berbagai
sumber informasi keilmuan itu untuk menambah wawasan, kapasitas keilmuan yang
mumpuni, sehingga berguna bagi dirinya untuk kemudian dapat diamalkan bagi
kebaikan orang lain. Pada hakekatnya semua yang ada di dunia ini merupakan
sumber pembelajaran, apakah itu berasal dari fenomena alam, fenomena sosial
budaya atau fenomena lain, tinggal pandai-pandai menangkap pesan positif dari
semua itu untuk menambah pengetahuan guru dan peserta didik sehingga
mempengaruhi pola pikir, pola kerja untuk kemudian menjadi budaya positif pada
tataran implementasi.
Upaya membudayakan baca dikalangan Guru dan siswa perlu terus
dipacu, yaitu dengan cara meresponi faktor-faktor pendorong lemahnya budaya baca
seperti tersebut diatas, yakni faktor internal dan eksternal oleh berbagai pihak, lebih khusus oleh Pemerintah pada
tataran makro sebagai pemegang kebijakan untuk pencapaian tujuan pendidikan nasional Indonesia. Pada tataran
mikro di setiap sekolah sejatinya dilengkapi pasilitas-fasilitas yang
dibutuhkan oleh seluruh Guru, Tenaga Kependidikan dan peserta didik,
diantaranya ketersediaan kelengkapan perpustakaan, area hotspot (area
Internet gratisan), responsif pada berbagai event keilmuan, apresiasi pada
sejumlah Guru atau peserta didik yang berhasil menjuarai event akademik serta
memfasilitasi untuk lebih maju dan berkembang. Ini nampaknya hal yang kurang
mendapat perhatian dari kita selaku bagian dari unsur dunia pendidikan.
Guru dan peserta didik yang gemar membaca dan mau berupaya
meningkatkan kompetensi akademik melalui membaca dan mengikuti berbagai event
akademik, paling tidak akan menambah wawasan dan cara pandang terhadap fenomena
yang terjadi untuk kemudian meng-korelasikannya dengan dunia pendidikan
sehingga stagnasi keilmuan pada diri dan
lembaga dimana ia bekerja atau bersekolah akan terminimalisir.
Nilai tambah Guru yang gemar baca, maka akan disenangi oleh
pimpinan, rekan Guru lebih khusus oleh peserta didik, hal ini dikarenakan ketika
peserta didik bertanya hal yang kurang dikuasainya, maka dengan piawai dan
mumpuni Guru itu mampu menjawab dan memuaskan pihak peserta didik sebagi
seseorang yang membutuhkan pencerahan. Keuntungan bagi peserta didik apabila
terbiasa dengan budaya baca, selain pengetahuanya akan bertambah, disenagi Guru
dan orang tua, juga disenagi oleh teman.
Selain itu juga akan mendapat kemudahan apabila dikemudian hari akan meneruskan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi bahkan kemudahan dalam bekerja. Lembaga
atau perusahaan mana yang tidak membutuhkan orang-orang cerdas dan mumpuni
serta berkarakter rajin baca ?
Ini semua PR bersama, dengan
harapan dunia pendidikan Indonesia akan semakin baik, baik dari sisi kualitas, kuantitas,
pelayanan dan mutu lulusan terlebih menghadapi globalisasi pendidikan yang
ditandai persaingan mutu lulusan lembaga pendidikan dalam negeri dengan mutu
lulusan lembaga pendidikan asing yang ada di Indonesia tercinta ini, Semoga ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar