Kamis, 23 Februari 2012

SEBUAH REFLEKSI: RENDAHNYA BUDAYA BACA DAN SOLUSI


REFLEKSI: RENDAHNYA BUDAYA BACA DAN SOLUSI
Oleh: Sobarudin, S.Ag.
Ada sesuatu yang kurang bijak nampaknya apabila fenemonea kecenderungan rendahnya budaya baca pada dunia pendidikan. Pesatnya arus Teknologi Informasi di dunia pendidikan tidak akan berdampak signifikan apabila tidak diimbangi dengan budaya baca oleh para pelaku didalamnya. Pelaku dimaksud adalah  Guru, Peserta Didik dan Tenaga Kependidikan, sakinng pentingnya elemen ini mendapat nomer khusus disingkat NUPTK (Nomer Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan). Elemen terpenting dari pelaku pendidikan adalah Guru dan peserta didik, bukan berarti elemen lain tidak lebih penting. Nampaknya ada korelasi signifikan dari dua elemen ini, Satu sisi guru merupakan ujung tobak terdepan dari keberhasilan suatu proses pendidikan, sehingga sehebat apapun kurikulum dan metode atau model pembelajaran apabila Guru tidak piawai dalam membawakan dan mengimplementasikan di lapangan, maka hasil yang diraih tentu akan jauh dari yang semestinya.
Sisi lain dari unsur terpenting pendidikan adalah peserta didik, peserta didik  mempunyai peran yang signifikan, ini artinya se-piawai apapun Guru dalam mengajar apabila tidak diimbangi oleh responsibilitas dari peserta didik, maka apa yang menjadi tujuan pendidikan tidak akan tercapai secara maksimal. Hal ini berimplikasi harus adanya harmonisasi, dinamisasi dan kooferatifnya kedua unsur Guru dan peserta didik.
Bertalian dengan ini, ada pribahasa menarik: “Buku adalah Gudangnya Ilmu, Baca adalah Kuncinya.” Peribahasa ini sudah lama dikenal, mudah diucapkan tetapi  tidak lebih mudah dari sisi implementasi. Kecenderungan guru dan peserta didik pada sisi implementasi ini masih terganjalnya dengan rasa tidak keyeng (bahasa Sunda) atau rendahnya motivasi baca. Apabila dicermati nampaknya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Secara sederhana apabila di klasifikasi faktor itu terbagi menjadi dua yakni faktor internal dan faktor eksternal. Masuk pada katagori internal diantaranya lemahnya jiwa kritis dan rasa ingin tahu yang lebih, rendahnya daya beli buku atau fasilitas keilmuan, tingkat kesejahteraan dan kestabilan ekonomi yang rendah. Selanjutnya masuk pada katagori eksternal yaitu rendahnya stimulus (rangsangan) dari lingkungan (Sekolah, keluarga, dan teman), kurang lengkapnya buku referensi, kurang lengkapnya perpustakaan terdekat, rendahknya penghargaan atas prestasi keilmuan di lingkungan pendidikan, terbuka dan mudahnya mengakses Internet. Kesemuanya ini ditengarai mempengaruhi rendahnya budaya baca dikalangan guru dan peserta didik di Indonesia.
Sebenarnya  tidak ada pemilahan apa yang sebaiknya dibaca oleh Guru atau peserta didik dalam upayanya menambah informasi pengetahuan. Buku cetak, e-book (buku elektronik) mempunyai keunggulan tersendiri, serta media informasi lain (Internet, Jurnal, Lektur, Koran, Majalah/Tabloid, Buletin) masing-masing mempunyai keunggulan dan kelemahan sendiri-sendiri.  Pertanyaannya adalah mampukah Guru dan peserta didik mengoptimalkan keberadaan berbagai sumber informasi keilmuan itu untuk menambah wawasan, kapasitas keilmuan yang mumpuni, sehingga berguna bagi dirinya untuk kemudian dapat diamalkan bagi kebaikan orang lain. Pada hakekatnya semua yang ada di dunia ini merupakan sumber pembelajaran, apakah itu berasal dari fenomena alam, fenomena sosial budaya atau fenomena lain, tinggal pandai-pandai menangkap pesan positif dari semua itu untuk menambah pengetahuan guru dan peserta didik sehingga mempengaruhi pola pikir, pola kerja untuk kemudian menjadi budaya positif pada tataran implementasi.
Upaya membudayakan baca dikalangan Guru dan siswa perlu terus dipacu, yaitu dengan cara meresponi  faktor-faktor pendorong lemahnya budaya baca seperti tersebut diatas, yakni faktor internal dan eksternal oleh  berbagai pihak, lebih khusus oleh Pemerintah pada tataran makro sebagai pemegang kebijakan untuk pencapaian tujuan  pendidikan nasional Indonesia. Pada tataran mikro di setiap sekolah sejatinya dilengkapi pasilitas-fasilitas yang dibutuhkan oleh seluruh Guru, Tenaga Kependidikan dan peserta didik, diantaranya ketersediaan kelengkapan perpustakaan, area hotspot (area Internet gratisan), responsif pada berbagai event keilmuan, apresiasi pada sejumlah Guru atau peserta didik yang berhasil menjuarai event akademik serta memfasilitasi untuk lebih maju dan berkembang. Ini nampaknya hal yang kurang mendapat perhatian dari kita selaku bagian dari unsur dunia pendidikan.
Guru dan peserta didik yang gemar membaca dan mau berupaya meningkatkan kompetensi akademik melalui membaca dan mengikuti berbagai event akademik, paling tidak akan menambah wawasan dan cara pandang terhadap fenomena yang terjadi untuk kemudian meng-korelasikannya dengan dunia pendidikan sehingga stagnasi keilmuan pada diri dan  lembaga dimana ia bekerja atau bersekolah akan terminimalisir.
Nilai tambah   Guru yang gemar baca, maka akan disenangi oleh pimpinan, rekan Guru lebih khusus oleh  peserta didik, hal ini dikarenakan ketika peserta didik bertanya hal yang kurang dikuasainya, maka dengan piawai dan mumpuni Guru itu mampu menjawab dan memuaskan pihak peserta didik sebagi seseorang yang membutuhkan pencerahan. Keuntungan bagi peserta didik apabila terbiasa dengan budaya baca, selain pengetahuanya akan bertambah, disenagi Guru dan  orang tua, juga disenagi oleh teman. Selain itu juga akan mendapat kemudahan apabila dikemudian hari akan meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi bahkan kemudahan dalam bekerja. Lembaga atau perusahaan mana yang tidak membutuhkan orang-orang cerdas dan mumpuni serta berkarakter rajin baca ?
Ini semua PR bersama,  dengan harapan dunia pendidikan Indonesia akan semakin baik, baik dari sisi kualitas, kuantitas, pelayanan dan mutu lulusan terlebih menghadapi globalisasi pendidikan yang ditandai persaingan mutu lulusan lembaga pendidikan dalam negeri dengan mutu lulusan lembaga pendidikan asing yang ada di Indonesia tercinta ini, Semoga ...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar