MAULID NABI: SEJARAH, MOMENTUM DAN PR BERSAMA
Oleh : Sobarudin, S.Ag.
Kalaulah ada seseorang berarti dalam kehidupan seseorang lainnya, dia bisa bersosok sebagai orang tua, anak tercinta, suami, istri ataupun orang berjasa lain, maka tidaklah berlebihan ketika ketidak hadirannya oleh orang yang mencintainya atau simpatisan terlebih sebagai warga negara yang menghargai jasa para pendahulu, diperingati hari lahir ataupun hari kewafatannya. Segai warga negara Indonesia yang baik, kita mengenal para tokoh pahlawan nasional seperti; RA Kartini, Kihajar Dewantara, Bung Tomo, Muhammad Hatta, Tujuh Pahlawan Revolusi dan sederet nama lain yang tidak semuanya dituliskan. Maka ketika hari kelahiran atau wafatnya, dilakukan libur nasional ditandai dengan upacara bendera full atau setengah tiang.
Ini merupakan suatu bentuk apresiasi atas jasa dan darmabaktinya untuk negeri tercinta ini. Sehingga wajar bila ada ungkapan “Warga negara yang baik adalah warga yang menghargai jasa para pendahulu/pahlawannya”. Hal wajar juga apabila umat Islam merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW sebagai tokoh revolusi peradaban manusia, sehinga atas kelahiran dan jasa perjuangan dirinya manusia berada pada suasana terang benderang dibawah sinaran cahaya ke-Islaman, yang menghantarkan dari abad jahiliyah ke abad Islamiyah.
Kilas Maulid Nabi
Kata maulid atau milad dalam bahasa Arab berarti hari lahir. Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat Islam jauh setelah Nabi Muhammad wafat. Secara subtansi, peringatan ini adalah ekspresi kegembiraan dan penghormatan kepada Nabi Muhammad. Peringatan maulid nabi untuk pertama kalinya dilaksanakan atas prakarsa Sultan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi (memerintah tahun 1174-1193 Masehi atau 570-590 Hijriah) dari Dinasti Bani Ayyub, yang dalam literatur sejarah Eropa dikenal dengan nama "Saladin". Meskipun Salahuddin bukan orang Arab melainkan berasal dari suku Kurdi, pusat kesultanannya berada di Qahirah (Kairo) Mesir, dan daerah kekuasaannya membentang dari Mesir sampai Suriah hingga Semenanjung Arabia.
Islam sedang mendapat gelombang serangan dari berbagai bangsa Eropa (Prancis, Jerman, Inggris). Inilah yang dikenal dengan Perang Salib atau The Crusade. Pada tahun 1099 Laskar Eropa merebut Yerusalem dan mengubah Masjid al-Aqsa menjadi gereja. Umat Islam saat itu kehilangan semangat perjuangan (jihad) dan persaudaraan (ukhuwah), sebab secara politis terpecah-belah dalam banyak kerajaan dan kesultanan, meskipun khalifah tetap satu, yaitu Bani Abbas di Bagdad, sebagai lambang persatuan spiritual.
Salahuddin Al-Ayyubi berpendapat, semangat juang umat Islam harus dihidupkan kembali dengan cara mempertebal kecintaan umat kepada nabi mereka. Dia mengimbau umat Islam di seluruh dunia agar hari lahir Nabi Muhammad saw, tanggal 12 Rabiul Awal, yang setiap tahun berlalu begitu saja tanpa diperingati, kini dirayakan secara massal. Sebenarnya hal itu bukan gagasan murni Salahuddin, melainkan usul dari iparnya, Muzaffaruddin Gekburi, yang menjadi atabeg (semacam bupati) di Irbil, Suriah Utara. Untuk mengimbangi maraknya peringatan Natal oleh umat Nasrani, Muzaffaruddin di istananya sering menyelenggarakan peringatan maulid nabi, cuma perayaannya bersifat lokal dan tidak setiap tahun. Adapun Salahuddin ingin agar perayaan maulid nabi menjadi tradisi bagi umat Islam di seluruh dunia dengan tujuan meningkatkan semangat juang, bukan sekadar perayaan ulang tahun biasa.
Pada mulanya gagasan Salahuddin ditentang oleh para ulama, sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idulfitri dan Iduladha. Akan tetapi Salahuddin menegaskan bahwa perayaan maulid nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang terlarang. Ketika Salahuddin meminta persetujuan dari Khalifah An-Nashir di Bagdad, ternyata khalifah setuju. Maka pada ibadah haji bulan Zulhijjah 579 Hijriyah (1183 Masehi), Sultan Salahuddin al-Ayyubi sebagai penguasa Haramain (dua tanah suci Mekah dan Madinah) mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah haji, agar jika kembali ke kampung halaman masing-masing segera menyosialkan kepada masyarakat Islam di mana saja berada, bahwa mulai tahun 580 Hijriah (1184 Masehi) tanggal 12 Rabiul-Awwal dirayakan sebagai hari maulid nabi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam.
Dari sekian banyak kegiatan yang dilakukan oleh Sultan Salahuddin pada peringatan maulid nabi yang pertama kali tahun 1184 (580 Hijriah) adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far al-Barzanji. Karyanya yang dikenal sebagai Kitab Barzanji sampai sekarang sering dibaca masyarakat di kampung-kampung pada peringatan maulid nabi.
Ternyata peringatan maulid nabi yang diselenggarakan Sultan Salahuddin itu membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib bergelora kembali. Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 Hijriah) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan Masjid al-Aqsa menjadi masjid kembali sampai hari ini.
Berkaitan dengan itu kemudian timbul pertanyaan kenapa maulid Nabi setiap tahun diperingati?, menurut hemat penulis, hal ini merupakan salah satu upaya untuk mengingat kembali sejarah nabi, untuk kemudian timbul semangat baru untuk meneladani bagaimana semangat berdakwah Rasulallah, bagaimana akhlak Rasulallah dalam kehidupan sehari-hari meliputi; bagaimana bericaranya rasulallah, bagaimana etika makan minum rasulallah, bagaimana gaya kepemimpinan dalam keluarga dan pemerintahan rasulallah, bagaimana etos kerja mencari nafkahnya rasulallah, bagaimana berprilaku terhadap tamu serta tetangga rasulallah, bagaimana akhlak terhadap teman dan lawan serta bagaimana mendorong pengikut setia beliau menjadi generasi terbaik dari generasi yang pernah ada ?. Kesemuanya itu memerlukan refleksi kita bersama, sudah sejauh mana prilaku Nabi Muhammad SAW yang dapat kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari? Jangan-jangan kita hanya pandai berslogan dan retorika belaka dan minim dalam implementasi.
Di seluruh negeri di dunia ini yang sependapat dengat adanya peringatan Maulid Nabi, setiap tahunnya selalu digelar acara yang kesemuanya dengan tujuan ikut mengagungkan dan memuliakan kelahiran baginda Muhammad SAW dikemas dengan berbagai kegiatan. Tak luput di Indonesiapun yang notabene sebagai negara terbesar berpenduduk Muslim, nampaknya peringatan Maulid nabi itu sudah menjadi agenda rutin Nasional. Mulai dari lingkungan Istana kepresidenan sampai ke tingkat mushala di tiap RT turut merayakan maulid ini. Fenomena ini patut di apresiasi secara positif sebagai wujud kecintaan kepada Rasulallah pembawa risalah kebenaran dari sang Khaliq dengan harapan sedikit demi sedikit dapat meneladaninya.
Sejalan dengan ini ada fenomena yang harus dikritisi oleh kita semua, banyak diantara masyarakat Indonesia lebih mengedepankan nilai-nilai tradisional ketimbang nilai-nilai spiritual, sehingga tidak sedikit dijumpai praktik-praktik yang mengarah ke praktik kemusyrikan dalam rangka maulid nabi ini. Alih-alih mengagungkan dan memuliakan kelahiran nabi, malahan lebih senang berhura-hura sehingga lupa akan esensi dari perayaan yang sejatinya, ditambah lagi yang memprihatinkan adanya praktik mengharap berkah dari benda-benda yang dianggap keramat dan mempunyai tuah (kemanfaatan lebih). Hal ini harus menjadi perhatian yang cukup serius terutama para tokoh agama, untuk sama-sama mencarikan solusi serta meluruskan aqidah dan praktik-praktik yang dapat menjerumuskan pada perbuatan yang berbau tahayul, bid’ah, khurafat lebih-lebih praktik syirik.
Di kalangan dunia pendidikan lebih khusus di lingkungan sekolah, kegiatan semacam ini nampaknya merupakan suatu momentum yang strategis untuk menanamkan nilai-nilai keimanan dan keislaman kepada peserta didik untuk kemudian diharapkan menjadi generasi Islami yang tahu akan sejarah dan mengidolakan Rasulallah dalam hidupnya. Pada dunia remaja kecenderungan mencari idola merupakan suatu yang harus mendapat perhatian lebih. Tidak sedikit remaja kita tidak mengenal lebih dekat siapa nabi Muhammad itu ?, sehingga derasnya arus informasi dan westernisasi sebagai buah dari modernisasi dan globalisasi, menjadikan tontotan beralih fungsi menjadi tuntunan, sebaliknya yang sejatinya tuntunan menjadi bahan tontonan dan cemooh belaka.
Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW sungguhpun terdapat kontropersi dikalangan umat Islam hukum pelaksanaannya, tetapi semuanya terpulang kepada niat/motivasi masing masing untuk kemudian menilik sisi positifnya bagi penanaman keimanan dan kecintaan kepada Rasulallah sebagai profil suri tauladan serta spirit implementasi keislaman secara kaffah dalam kehidupan sehari-hari.
Kesimpulan
Momentum Maulid Nabi oleh semua pihak terlebih sekolah, kiranya dapat diposisikan sebagai salah satu upaya untuk mengekplorasi dan meneladani akhlak Rasulallah untuk kemudian dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga segala gerak langkah kita yang mengaku sebagai pengikut Nabi Muhammad SAW tidak jauh panggang daripada api tetapi benar-benar membumi dan membudaya.
Diperlukan konsistensi dalam upaya penanaman kecintaan terhadap Rasulullah mulai dari usia dini hingga jenjang usia tertinggi melalui berbagai kemasan kegiatan yang dapat menyentuh dan efektif pada semua strata masyarakat Indonesia.
Sinergitas semua elemen masyarakat untuk pencapaian tujuan mulia dari peringatan Maulid Nabi yang jauh dari praktik-praktik kemusyrikan adalah suatu keniscayaan sehingga tercipta suasana dan generasi Islami, Semoga...
(Dari berbagai Sumber).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar