Kamis, 16 Februari 2012

JADILAH KEPANJANGAN TANGAN ALLAH


JADILAH KEPANJANGAN TANGAN ALLAH
Oleh : Sobarudin, S.Ag.
Kedatangan seseorang  kepada diri kita terkadang tidak disangka, apalagi ketika kita sedang sibuk mengurusi sesuatu, kehadiran seseorang itupun luput dari pandangan dan perhatian kita sebagai tuan rumah. Ketika sedang ada acara hajatan misalnya, mengkhitan atau menikahkan anak atau acara lainnya,  Kehadiran seseorang yang penampilannya tidak lazim layaknya orang menghadiri resepsi, maka jelas akan terasa mengganggu dan kurang sedap dipandang, dengan serta merta diantara kita biasanya akan mengusirnya karena dianggap akan mengganggu kehidmatan suatu acara resepsi.
Ada kisah menarik bertalian dengan pernyataan diatas yang patut kita simak. Pada suatu waktu terjadi dialog. “Hai Musa, kami mau mengundang Tuhan untuk hadir dijamuan makan malam kami”, pinta tetua Bani Israil kepada Nabiyallah Musa.
“Ya Musa, bicaralah kepada Tuhan agar Dia berkenan hadir, “ timpal yang lain. Nabi Musa agak sebal juga mendengar permintaan kamumnya. Di telinga beliau, permintaan itu lebih mirip dengan ejekan, penghinaan. Beliau menjawab bahwa Tuhan tidak membutuhkan makanan dan minuman. Bahkan Dia-lah yang memberi makanan dan minuman dan segala yang menjadi kebutuhan manusia.
Dalam kondisi setengah marah dan kecewa, Nabi Musa naik ke bukit Sinai, ia bermaksud menyampaikan unek-unek kepada Tuhan. Sesampainya di sana, Tuhan malah berfirman, “Hai Musa, bukankah kaummu sudah mengundang Aku untuk hadir di jamuan makan malam mereka?, sampaikan salam kepada mereka, aku bersedia hadir pada jum’at malam.
Sambil heran bercampur bingung, Nabi Musa sampaikan juga berita kebersediaan Tuhan ini kepada kaumnya. Mulailah kaum Bani Israil mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut Tuhan. Nabi Musa sendiri ikut turun tangan agar penyambutan ini menjadi penyambutan yang spesial. Karena yang akan datang juga spesial, Allah, Tuhan penguasa alam ini.
Hari demi hari berlalu hingga tibalah waktu yang dinanti-nantikan. Sementara itu persiapan terakhir terus dilakukan. Ketika sedang sibuk mempersiapkan jamuan makan malam, tiba-tiba datang seorang tua denan pakaian yang lusuh. Wajahnya tak dikenal oleh warga setempat. Wajahnya yang kelelahan menyiratkan bahwa ia pastilah datang dari negeri yang jauh. Penampilannya menyiratkan bahwa ia pastilah ia orang susah, orang miskin. Kemudian ia mengetuk pintu hati orang-orang yang ada ditempat itu, yakni ditempat jamuan makan malam, “Hai tuan, adakah yang sudi memberikan saya makan walau sedikit dan minuman walau seteguk?”. Tak satupun yang peduli.
“Hai tuan, adakah yang sudi memberikan saya makan walau sedikit dan minuman walau seteguk?”. Lagi-lagi tak ada yang peduli. Sementara itu ia melihat begitu banyak makanan dan begitu banyak rupa minuman yang tampak enak dan menggiurkan. Kemudian pak tua itu mendatangi Musa dan langsung minta padanya permintaan yang sama. “Tidakkah engkau lihat, pak tua. Kami semua sedang sibuk mempersiapkan jamuan makan malam untuk Tuhan. Begini saja, engkau ambillah dulu air dari sumur itu dan penuhilah bak ini, nanti aku akan beri upah”.
Pak tua itu menurut, dengan langkah tuanya dan sisa energi yang masih dimilikinya, ia penuhi bah yang diperintahkan nabi  Musa untuk diisi air. Namun selepas mengisi bak tersebut, tetap saja mereka tidak memberikan pak tua itu makanan dan minuman. Hingga akhirnya pa tua itu berlalu dari hadapan mereka. Karena kesibukannya, kaum bani Israil dan nabi Musa tidak terlalu memerhatikan berlalunya pak tua tersebut.
Tibalah malam yang dinanati. Mereka bernyanyi dan bersuka cita karena mereka merasa sebagai kaum yang istiwewa, bisa bertemu muka langsung dengan penguasa jagat ini. Dan sedikitpun tidak ada kekhawatiran dalam diri nabi Musa bahwa Tuhannya bisa saja tidak hadir. Tuhan Maha Memenuhi Janji, begiti pikir nabi Musa.
Hingga larut malam, Tuhan yang berjanji hadir tidak kunjung hadir. Kaum Bani Israil sudah mulai resah dan gelisah, nabi Musa juga mulai salah tingkah. Ketika malam semakain larut, wajah-wajah kaum Bani Israil pun mulai menunjukan kelelahan dan rasa kantuk berdampingan dengan kekecewaan kepada nabi Musa dan Tuhan-Nya yang tak kunjung datang.  Hingga pagi harinya, kekecewaan kaum Bani Israil berupah menjadi kemarahan, mereka menuduh nabi Musa bohong.
Nabi Musa pun tidak kalah kecewanya, meski demikian ia merasa tidak berhak marah kepada Tuhan. Hanya saja ia sedih mengapa Tuhan melalaikan janji-Nya, yang akhirnya membuat ia semakin terpojok. Naiklah lagi nabi Musa ke bukit Sinai, dan sebelum Musa berkata-kata, Tuhan malah berfirmah, “Ketahuilah hai Musa, Aku sudah datang, aku sudah datang”.
Aku sudah datang memenuhi janji-Ku, tapi kalian tak satupun yang menyambut-Ku. Aku datang bahkan dalam keadan lapar dan haus. Dan tak ada satupun  dari kalian yang sudi meberi-Ku makan, meberiku air. Aku bahkan datang kepada Musa  dalam keadaan letih, tapi engkau malah menyuruhku memenuhi bak air untuk sekedar upah yang hanya bisa mengganjal perut-Ku dan untuk sekedar upah yang hanya bisa membasari tegorokan-Ku.
Ketahuilah Musa, tidaklah sampai cinta-Ku kecuali engkau mencintai sesama. Tidaklah sampai pelayanan-Ku  kecuali engkau sudi melayani sesama. Ketahuilah, Aku hanya mencintai mereka yang mencintai sesama. Aku bersedia membantu hanya kepada mereka yang bersedia membantu sesama. Dan ketahuilah pula, kenikmatan adalah untuk berbagi.
Lemaslah Musa, dan sadarlah ia akan kekeliruan dirinya dan kekeliruan umatnya. Tuhan ternyata hadir. Dan Dia hadir dengan rupa seorang tua. Sekarang, Tuhannyalah yang kecewa pada dirinya dan diri umatnya.
Kisah diatas memberi pelajaran berharga bagi kita bahwa jangan memandang remeh orang yang tidak dikenal terlebih  penampilannya tidak layak atau bahkan  seperti orang papa. Selain itu pula dalam suasana sesibuk apapun kita selayaknya masih peduli atas kesulitan dan penderitaan muslim lainnya sehingga diharapkan timbul  kesadaran untuk terus berempati yang diwujudkan dalam bentuk saling tolong-menolong dan meringankan beban hidup mereka.
Alangkah bahagianya anak-anak yatim yang berada di panti asuhan maupun rumah bilik sederhana, yang tidak ada satupun barang mewah dan makanan yang tersedia untuk di konsumsi, ketika kita datang menenteng makanan dan sejumlah perlengkapan, membuat mereka tersambung hidupnya.
Sungguh bahagia orang tua nan jompo ketika bangun dari tidurnya lantaran sakit disampingnya tidak ada sanak saudara, kemudian kita membelainya dengan penuh kasih sayang dan menyuapinya makanan dan minuman.
Sungguh bahagia orang tua yang menyaksikan anaknya menangis sebab besok harinya dia akan diskor oleh sekolah lantaran tidak lunas keuangan sekolah, kemudia hadir kita untuk memberinya sejumlah uang untuk menulasi sejumlah tunggakan disekolahnya.
Sungguh bahagianya para ibu yang menyaksikan bayinya menangis tiada henti  lantaran minta air susu sedangkan air susu dirinya telah mengering, kemudian kita hadir memberinya sekaleng susu bayi.
Alangkah bahagianya apabila kita datang sebagai kepanjanagan tanganan Allah dalam meringankan beban dan mengasihi sesama.
(Disarikan dari Wisata Hati KH. Yusuf Mansur)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar