Selasa, 24 April 2012

BIARKAN MASA DEPAN DATANG SENDIRI


BIARKAN MASA DEPAN DATANG SENDIRI
Oleh : Sobarudin
Jangan pernah mendahului sesuatu yang belum terjadi, apakah anda mau mengeluarkan kandungan sebelum waktunya di lahirkan, atau memetik buah-buahan sebelum masak? Hari esok adalah sesuatu yang belum nyata dan dapat diraba, belum berwujud, dan tidak memiliki rasa dan warna. Jika demikian, mengapa kita harus menyibukan diri dengan hari esok, mencemaskan kesialan-kesialan yang akan terjadi kepadanya, memikirkan kejadian-kejadian yang akan menimpanya, dan meramalkan bencana-bencana yang bakal ada di dalamnya ? bukankah kita juga tidak tahu apakah kita akan bertemu dengannya atau tidak, dan apakah hari esok kita itu akan berwujud kesenangan atau kesedihan ?.
Yang jelas, hari esok masih ada dalam alam ghaib dan belum turun ke bumi. Maka, tidak sepantasnya kita menyeberangi sebuah jembatan sebelum sampai di atasnya. Sebab, siapa yang tahu bahwa kita akan sampai atau tidak pada jembatan itu. Bisa jadi akan terhenti jalan kita sebelum samapai pada jembatan itu, atau mungkin pula jembatan itu hanyut terbawa arus terlebih dahulu sebelum kita sampai diatasnya. Dan bisa jadi pula, kita akan sampai pada jembatan itu dan kemudian menyeberanginya.
Dalam syariat, memberi kesempatan kepada pikiran untuk memikirkan masa depan dan membuka-buka alam ghaib, dan kemudian terhanyut dalam kecemasan-kecemasan yang baru di duga darinya, adalah sesuatu yang tidak dibenarkan. Pasalnya, hal itu termasuk thulul amal (angan-angan yang terlalu jauh). Secara nalar, tindakan itu pun tak masuk akal, karena sama halnya dengan berusaha perang melawan bayang-bayang. Namun ironis, kebanyakan manusia di dunia ini justru banyak termakan oleh ramalan-ramalan tentang kelaparan, kemiskinan, wabah penyakit dan krisis ekonomi yang kabarnya akan menimpa mereka. Padahal, semua itu hanyalah bagian dari kurikulum yang diajarkan si “sekolah-sekolah syetan”.
Syetan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir), sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia) (Q.S. Al-Baqarah :268)
Mereka yang menangis sedih menatap masa depan adalah yang menyangka diri mereka akan hidup kelaparan, menderita sakit selama setahun, dan memperkirakan umur dunia ini tinggal seratus tahun lagi. Padahal, orang yang sadar bahwa usia  hidupnya berada di “genggaman yang lain”, tentu tidak akan menggadaikannya untuk sesuatu yang tidak ada. Dan orang yang tidak tahu kapan akan mati, tentu salah besar bila justru menyibukan diri dengan sesuatu yang belum ada dan tidak berwujud. Biarkan hari esok itu datang dengan sendirinya. Jangan pernah menanyakan kabar beritanya, dan jangan pula pernah menanti serangan petakanya. Sebab, hari ini anda sudah sangat sibuk.
Jika anda heran, maka lebih mengherankan lagi orang-orang yang berani menebus kesedihan suatu masa  yang belum tentu matahari terbit di dalamnya dengan bersedih pada hari ini. Oleh karena itu, hindarilah angan-angan yang berlebihan.

MENYOAL MAKNA BERKAH DALAM HIDUP


MENYOAL MAKNA BERKAH DALAM HIDUP
Oleh: Sobarudin
Tulisan sederhana ini bermaksud mengajak refleksi bersama tentang ucapan “berkah” yang sering kita dengar  di obrolan  santai maupun di forum resmi semisal Kajian Ilmiah, Majelis ta’lim dan kegiatan semisal lain. Misalnya kata-kata, “Mudah-mudahan kita mendapat keberkahan dari Allah SWT...., adalah sering terngiang ditelinga kita. Mudah memang mengucapkan kalimat itu, tetapi apakah semudah itu pula kita berprilaku sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan agama untuk dapat menggapai keberkahan dari Allah ?. Lalu bagaimana berkah dalam hidup itu bisa kita capai?. Allah sudah menjamin pada  surat Al-A`raf  ayat 96, bahwa untuk memperoleh keberkahan itu seorang hamba itu harus beriman dan bertaqwa pada Allah SWT.

Setiap orang yang bertaqwa itu sudah pasti beriman, tetapi belum tentu setiap orang yang beriman itu bertaqwa. Pertanyaanya apa pengertian taqwa?, banyak pendapat ulama tentang makna taqwa diantaranya Imam An-Nawawi mendenifisikan taqwa dengan mentaati semua perintah Allah dan meninggalkan seluruh larangan-Nya.
Adalah Ubaiy bin Kaab sewaktu ditanya oleh Umar bin Khatab, apa yang dimaksud taqwa, dia menyatakan bahwa taqwa itu diibaratkan bagaikan seorang yang sedang berjalan ditengahnya banyak onak dan duri, maka tentu untuk selamat dari duri tersebut harus hati-hati dalam perjalanannya. Maksudnya orang yang bertaqwa itu harus hati-hati, bersungguh-sungguh dalam melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan laranga-Nya, menghindari sekecil apapun perbuatan yang dilarang Allah dan melaksanakan perintah dengan penuh keimanan dan kecintaan kepada Allah SWT. Melaksanakan kebaikan sesuai anjuran Rasul, walau sekecil apapun seperti membuang duri dari jalan.  
Kehati-hatian itulah kata kunci untuk menjadi orang bertaqwa, orang yang hati-hati orang yang selalu ingat, orang yang selalu ingat pada peintah Allah dan selalu ingat akan  larangan Allah SWT, sehingga dia senantiasa melakukan sesuatu itu untuk mencari ridha Allah dan meninggalkan sesuatu perbuatan tersebab takut pada Allah SWT, dimana saja, kapan saja, dalam kondisi apapun dan situasi bagaimanapun dia senantiasa orientasinya pada Allah SWT. Ada kisah yang layak kita renungkan bertalian dengan keberkahan dan kehati-hatian ini diantaranya;      
Kisah ke 1, Khalifah Umar bin Khathab dari Madinah ke Mekah. Di tengah jalan beliau berjumpa dengan seorang anak gembala yang tampak sibuk mengurus kambing-kambingnya. Seketika itu muncul keinginan Khalifah untuk menguji kejujuran si gembala. Kata Khalifah Umar, "Wahai penggembala, juallah kepadaku seekor kambingmu."  "Aku hanya seorang budak, tidak berhak menjualnya," jawab si gembala. "Katakan saja nanti kepada tuanmu, satu ekor kambingmu dimakan serigala," lanjut Khalifah. Kemudian si gembala menjawab dengan sebuah pertanyaan, "Lalu, dimana Allah?" Khalifah Umar tertegun karena jawaban itu. Sambil meneteskan air mata ia pun berkata, “Kalimat di mana Allah itu telah memerdekakan kamu di dunia ini, semoga dengan kalimat ini pula akan memerdekakan kamu di akhirat kelak."
Kisah 2, Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya dari Abu Hurairah berkata, bahwa Rasulullah bersabda;  "Seorang laki-laki membeli sebidang tanah dari laki-laki lain. Laki-laki pembeli tanah itu menemukan gentong berisi emas di tanah tersebut. Pembeli berkata kepada penjual, "Ambillah emasmu dariku. Aku hanya membeli tanah darimu dan tidak membeli emasmu." Pemilik tanah sekaligus penjual menjawab, "Aku menjual tanah dengan apa yang ada padanya kepadamu." Lalu keduanya berhakim kepada seorang laki-laki. Hakim tersebut bertanya, "Apakah kalian berdua mempunyai anak?" Salah satu menjawab, "Aku mempunyai anak laki-laki." Yang lain menjawab, "Aku mempunyai anak perempuan." Pengadil berkata, "Nikahkan anak laki-lakimu dengan anak perempuannya. Infakkan kepada keduanya dari harta itu dan bersedekahlah."

Kisah 3, Umar bin Abdul Aziz  ketika beliau sedang mengerjakan tugas negara malam hari tepatnya di kamar kerja salah satu kamar rumah miliknya, tiba-tiba anaknya mengetuk pintu kamar. Kemudian beliau membuka pintu dan lampu di kamar tersebut dimatikannya. Si anak lalu bertanya, "Kenapa lampu engkau matikan  ya Abi?" lalu beliau menjawab, "Karena minyak pada lampu ini milik negara, tidak layak kita membicarakan urusan keluarga dengan menggunakan fasilitas negara".
Dari kisah diatas dapatlah kita ambil benang merahnya, bahwa merasa diri diawasi terus oleh Allah SWT, berlaku adil atas milik orang lain dan berhati-hati dalam mengkonsumsi/menggunakan fasilitas milik negara atau orang lain merupakan jalan untuk menjemput keberkahan dari Allah SWT.
Orang yang bertaqwa akan diberi keberkahan oleh Allah dalam segala nikmat yang dilimpahkan-Nya, baik nikmat rezki, nikmat berkeluarga, nikmat anak patuh dan taat, nikmat isteri setia, nikmat ketenangan jiwa, nikmat rasa tidak resah dan gelisah (galau) dan nikmat-nikamat lain yang Allah jamin mendapatkan keberkahan.
Jika suatu penduduk suatu negeri bertaqwa kepada Allah, bencana akan menjauh, terhindar dari musibah dan marabahaya. "Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertaqwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (Q.S. Al-A`raf : 96).
Keberkahan bukan seperti benda atau barang yang bernilai seperti berlian atau emas, tetapi keberkahaan hanya bisa dirasakan dalam jiwa dan hati orang-orang beriman. Misalnya, dalam perkara rezeki seperti harta yang kita terima atau uang, makanan, walaupun ia sedikit tetapi cukup, mengenyangkan dan menyehatkan anggota badan dan membawa kebaikan bagi manusia lain.
Sehat jasmani dan rohani, kehidupan kita akan menjadi aman bahagia, hati senang, jiwa tentram dan segala urusan kehidupan dapat dikendalikan dengan mudah dan senang, sekalipun dari segi kebendaan duniawi tidaklah mewah itulah makna keberkahan hidup yang sejati.  
Demikian, semoga kita senantiasa dapat selalu berhati-hati dalam bertindak, ingat Allah SWT selalu, dimana saja dalam situasi dan kondisi apapun. Berusaha untuk selalu istiqamah terhadap ajaran agama Islam, sehingga keberkahan hidup yang selalu kita dambakan akan cepat dan senantiasa melekat dalam kehidupan kita, Amin...

REFLEKSI: RENDAHNYA BUDAYA BACA DAN SOLUSI


REFLEKSI: RENDAHNYA BUDAYA BACA DAN SOLUSI
Oleh: Sobarudin, S.Ag.
Ada sesuatu yang kurang bijak nampaknya apabila fenemonea kecenderungan rendahnya budaya baca pada dunia pendidikan. Pesatnya arus Teknologi Informasi di dunia pendidikan tidak akan berdampak signifikan apabila tidak diimbangi dengan budaya baca oleh para pelaku didalamnya. Pelaku dimaksud adalah  Guru, Peserta Didik dan Tenaga Kependidikan, sakinng pentingnya elemen ini mendapat nomer khusus disingkat NUPTK (Nomer Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan). Elemen terpenting dari pelaku pendidikan adalah Guru dan peserta didik, bukan berarti elemen lain tidak lebih penting. Nampaknya ada korelasi signifikan dari dua elemen ini, Satu sisi guru merupakan ujung tobak terdepan dari keberhasilan suatu proses pendidikan, sehingga sehebat apapun kurikulum dan metode atau model pembelajaran apabila Guru tidak piawai dalam membawakan dan mengimplementasikan di lapangan, maka hasil yang diraih tentu akan jauh dari yang semestinya.
Sisi lain dari unsur terpenting pendidikan adalah peserta didik, peserta didik  mempunyai peran yang signifikan, ini artinya se-piawai apapun Guru dalam mengajar apabila tidak diimbangi oleh responsibilitas dari peserta didik, maka apa yang menjadi tujuan pendidikan tidak akan tercapai secara maksimal. Hal ini berimplikasi harus adanya harmonisasi, dinamisasi dan kooferatifnya kedua unsur Guru dan peserta didik.
Bertalian dengan ini, ada pribahasa menarik: “Buku adalah Gudangnya Ilmu, Baca adalah Kuncinya.” Peribahasa ini sudah lama dikenal, mudah diucapkan tetapi  tidak lebih mudah dari sisi implementasi. Kecenderungan guru dan peserta didik pada sisi implementasi ini masih terganjalnya dengan rasa tidak keyeng (bahasa Sunda) atau rendahnya motivasi baca. Apabila dicermati nampaknya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Secara sederhana apabila di klasifikasi faktor itu terbagi menjadi dua yakni faktor internal dan faktor eksternal. Masuk pada katagori internal diantaranya lemahnya jiwa kritis dan rasa ingin tahu yang lebih, rendahnya daya beli buku atau fasilitas keilmuan, tingkat kesejahteraan dan kestabilan ekonomi yang rendah. Selanjutnya masuk pada katagori eksternal yaitu rendahnya stimulus (rangsangan) dari lingkungan (Sekolah, keluarga, dan teman), kurang lengkapnya buku referensi, kurang lengkapnya perpustakaan terdekat, rendahknya penghargaan atas prestasi keilmuan di lingkungan pendidikan, terbuka dan mudahnya mengakses Internet. Kesemuanya ini ditengarai mempengaruhi rendahnya budaya baca dikalangan guru dan peserta didik di Indonesia.
Sebenarnya  tidak ada pemilahan apa yang sebaiknya dibaca oleh Guru atau peserta didik dalam upayanya menambah informasi pengetahuan. Buku cetak, e-book (buku elektronik) mempunyai keunggulan tersendiri, serta media informasi lain (Internet, Jurnal, Lektur, Koran, Majalah/Tabloid, Buletin) masing-masing mempunyai keunggulan dan kelemahan sendiri-sendiri.  Pertanyaannya adalah mampukah Guru dan peserta didik mengoptimalkan keberadaan berbagai sumber informasi keilmuan itu untuk menambah wawasan, kapasitas keilmuan yang mumpuni, sehingga berguna bagi dirinya untuk kemudian dapat diamalkan bagi kebaikan orang lain. Pada hakekatnya semua yang ada di dunia ini merupakan sumber pembelajaran, apakah itu berasal dari fenomena alam, fenomena sosial budaya atau fenomena lain, tinggal pandai-pandai menangkap pesan positif dari semua itu untuk menambah pengetahuan guru dan peserta didik sehingga mempengaruhi pola pikir, pola kerja untuk kemudian menjadi budaya positif pada tataran implementasi.
Upaya membudayakan baca dikalangan Guru dan siswa perlu terus dipacu, yaitu dengan cara meresponi  faktor-faktor pendorong lemahnya budaya baca seperti tersebut diatas, yakni faktor internal dan eksternal oleh  berbagai pihak, lebih khusus oleh Pemerintah pada tataran makro sebagai pemegang kebijakan untuk pencapaian tujuan  pendidikan nasional Indonesia. Pada tataran mikro di setiap sekolah sejatinya dilengkapi pasilitas-fasilitas yang dibutuhkan oleh seluruh Guru, Tenaga Kependidikan dan peserta didik, diantaranya ketersediaan kelengkapan perpustakaan, area hotspot (area Internet gratisan), responsif pada berbagai event keilmuan, apresiasi pada sejumlah Guru atau peserta didik yang berhasil menjuarai event akademik serta memfasilitasi untuk lebih maju dan berkembang. Ini nampaknya hal yang kurang mendapat perhatian dari kita selaku bagian dari unsur dunia pendidikan.
Guru dan peserta didik yang gemar membaca dan mau berupaya meningkatkan kompetensi akademik melalui membaca dan mengikuti berbagai event akademik, paling tidak akan menambah wawasan dan cara pandang terhadap fenomena yang terjadi untuk kemudian meng-korelasikannya dengan dunia pendidikan sehingga stagnasi keilmuan pada diri dan  lembaga dimana ia bekerja atau bersekolah akan terminimalisir.
Nilai tambah   Guru yang gemar baca, maka akan disenangi oleh pimpinan, rekan Guru lebih khusus oleh  peserta didik, hal ini dikarenakan ketika peserta didik bertanya hal yang kurang dikuasainya, maka dengan piawai dan mumpuni Guru itu mampu menjawab dan memuaskan pihak peserta didik sebagi seseorang yang membutuhkan pencerahan. Keuntungan bagi peserta didik apabila terbiasa dengan budaya baca, selain pengetahuanya akan bertambah, disenagi Guru dan  orang tua, juga disenagi oleh teman. Selain itu juga akan mendapat kemudahan apabila dikemudian hari akan meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi bahkan kemudahan dalam bekerja. Lembaga atau perusahaan mana yang tidak membutuhkan orang-orang cerdas dan mumpuni serta berkarakter rajin baca ?
Ini semua PR bersama,  dengan harapan dunia pendidikan Indonesia akan semakin baik, baik dari sisi kualitas, kuantitas, pelayanan dan mutu lulusan terlebih menghadapi globalisasi pendidikan yang ditandai persaingan mutu lulusan lembaga pendidikan dalam negeri dengan mutu lulusan lembaga pendidikan asing yang ada di Indonesia tercinta ini, Semoga ...